BAB I
PENDAHULUAN
I.I
Latar Belakang
Ozon termasuk
kedalam pencemar sekunder yang terbentuk di atmosfer dari reaksi fotokimia NOx
dan HC. Ozon bersifat oksidator kuat, karena itu pencemaran oleh ozon
troposferik dapat menyebabkan dampak yang merugikan bagi kesehatan manusia.
Laporan Badan Kesehatan Dunia menyatakan konsentrasi ozon yang tinggi (>120
µg/m3) selama 8 jam atau lebih dapat menyebabkan serangan jantung dan kematian
atau kunjungan ke rumah sakit karena gangguan pada sistem pernafasan. Pajanan
pada konsentrasi 160 µg/m3 selama 6,6 jam dapat menyebabkan gangguan fungsi
paru-paru akut pada orang dewasa yang sehat dan padapopulasiyangsensitif.
Emisi gas buang berupa NOx adalah senyawa-senyawa pemicu (precursor) pembentukan ozon. Senyawa ozon di lapisan atmosfer bawah (troposfer bawah, pada ketinggian 0 – 2000m) terbentuk akibat adanya reaksi fotokimia pada senyawa oksida nitrogen (NOx) dengan bantuan sinar matahari. Oleh karena itu potensi produksi ozon troposfer di daerah beriklim tropis seperti Indonesia sangat tinggi. Karena merupakan pencemar sekunder, konsentrasi ozon di luar kota --di mana tingkat emisi prekursor umumnya lebih rendah-- seringkali ditemukan lebih tinggi daripada konsentrasi ozon di pusat kota. Percepatan produksi ozon dibantu dengan kehadiran senyawa lain seperti NOx, hidrokarbon, CO dan senyawa-senyawa radikal yang juga diemisikan dari pembakaran bahan bakar fosil. Puncak pola fluktuasi harian ozon umumnya terjadi setelah terjadinya puncak konsentrasi NOx dan efek yang lebih merugikan terhadap kesehatan karena adanya kombinasi pencemar NOx dan ozon dapat terjadi. Diketahui bahwa kombinasi NOx-O3 dapat menyebabkan penurunan fungsi paru-paru (Hazucha,1996). Selain menyebabkan dampak yang merugikan pada kesehatan manusia, pencemar ozon dapat menyebabkan kerugian ekonomi akibat ausnya bahan atau material (tekstil, karet, kayu, logam, cat, dlsb), penurunan hasil pertanian dan kerusakan ekosistem seperti berkurangnya keanekaragaman hayati.
Emisi gas buang berupa NOx adalah senyawa-senyawa pemicu (precursor) pembentukan ozon. Senyawa ozon di lapisan atmosfer bawah (troposfer bawah, pada ketinggian 0 – 2000m) terbentuk akibat adanya reaksi fotokimia pada senyawa oksida nitrogen (NOx) dengan bantuan sinar matahari. Oleh karena itu potensi produksi ozon troposfer di daerah beriklim tropis seperti Indonesia sangat tinggi. Karena merupakan pencemar sekunder, konsentrasi ozon di luar kota --di mana tingkat emisi prekursor umumnya lebih rendah-- seringkali ditemukan lebih tinggi daripada konsentrasi ozon di pusat kota. Percepatan produksi ozon dibantu dengan kehadiran senyawa lain seperti NOx, hidrokarbon, CO dan senyawa-senyawa radikal yang juga diemisikan dari pembakaran bahan bakar fosil. Puncak pola fluktuasi harian ozon umumnya terjadi setelah terjadinya puncak konsentrasi NOx dan efek yang lebih merugikan terhadap kesehatan karena adanya kombinasi pencemar NOx dan ozon dapat terjadi. Diketahui bahwa kombinasi NOx-O3 dapat menyebabkan penurunan fungsi paru-paru (Hazucha,1996). Selain menyebabkan dampak yang merugikan pada kesehatan manusia, pencemar ozon dapat menyebabkan kerugian ekonomi akibat ausnya bahan atau material (tekstil, karet, kayu, logam, cat, dlsb), penurunan hasil pertanian dan kerusakan ekosistem seperti berkurangnya keanekaragaman hayati.
I.2 Rumusan Masalah
Dari uraian di atas terdapat 6
masalah yang akan dikaji dalam penyusunan makalah ini. Yaitu:
1. Bagaimana sifat fisik dan kimia Ozon
(O3)?
2. Bagaimana sumber alamiah dan
nonilmah Ozon(O3)?
3. Bagaimana distribusi dan dinamika di
lingkungan (reaksi kimia) Ozon (O3)?
4. Bagaimana standard dan nilai ambang
batas (NAB) Ozon (O3)?
5. Apa dampak Ozon (O3)
terhadap kesehatan?
6. Bagaimana cara pengendalian
(pencegahan dan penanggulangan ) pada Ozon (O3)?
I.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui serta memahami sifat fisik dan kimia
Ozon (O3).
2. Untuk mengetahui serta memahami sumber alamiah dan
nonilmiah Ozon (O3).
3. Untuk mengetahui serta memahami
distribusi dan dinamika di lingkungan (reaksi kimia) Ozon (O3).
4. Untuk mengetahui serta memahami
standard dan nilai ambang batas (NAB) Ozon (O3).
5. Untuk mengetahui serta memahami
dampak Ozon (O3) terhadap kesehatan.
6. Untuk mengetahui serta memahami
pengendalian (pencegahan dan penanggulangan ) pada Ozon (O3)
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Sifat Fisik dan Kimia Ozon (O3)
(O3)
merupakan senyawa di udara selain oksigen yang memiliki sifat sebagai
pengoksidasi. Oksidan adalah komponen atmosfir yang diproduksi oleh proses
fotokimia, yaitu suatu proses kimia yang membutuhkan sinar matahari
mengoksidasi komponen-komponen yang tak segera dioksidasi oleh oksigen. Senyawa
yang terbentuk merupakan bahan pencemar sekunder yang diproduksi karena
interaksi antara bahan pencemar primer dengan sinar.Hidrokarbon merupakan
komponen yang berperan dalam produksi oksidan fotokimia. Reaksi ini juga
melibatkan siklus fotolitik NO2. Polutan sekunder yang dihasilkan dari reaksi
hidrokarbon dalam siklus ini adalah ozon dan peroksiasetilnitrat.
Sifat-sifat
fisik Ozon:
1
|
Penampakan
|
Gas
tidak berwarna atau cairan berwarna biru gelap
|
2
|
Titik
lebur
|
-193
oC
|
3
|
Titik
didih
|
-111,9
oC
|
4
|
Suhu
kritis
|
144
oC
|
5
|
Tekanan
uap
|
20
mmHg pada -157 oC
|
6
|
Kerapatan
|
1,6
|
7
|
Berat
jenis
|
1,62
gr/cm3 -195,4 oC
|
Sifat-sifat kimia Ozon
O3 memiliki karakteristik berbau tajam,
merupakan gas yang beracun. Ozon adalah zat pengoksidasi yang kuat dibandingkan
dengan O2 dan
bereaksi dengan banyak senyawa dalam kondisi di mana O2tidak dapat melakukannya. Reaksi;
O3 + 2KI + H2O
I2 +
2KOH + O2
Reaksi diatas adalah
kuantitatif dan dapat digunakan untuk analisis. Jumlah O3 dalam
suatu campuran gas dapat ditentukan dengan melewatkan sampel gas ke dalam
larutan KI yang telah diatur pHnya dengan larutan buffer borat (pH 9,2)
kemudian dititrasi dengan natrium tiosulfat.
O3 + 2 K+ + 2 I-
I2 + 2
KOH+ O2
Ozon digunakan untuk
oksidasi senyawaan organik dan dalam pemurnian air. Ozon digunakan untuk
oksidasi senyawaan organik dan dalam pemurnian air. Mekanisme oksidasi mungkin
melibatkan proses rantai radikal bebas demikian juga intermediet dengan gugus
–OOH. Dalam larutan asam O3 hanya diungguli dalam kekuatan
oksidasinya oleh F2, ion perxentat, atom oksigen,
radikal OH, dan sejumlah kecil spesies yang lainnya.
2. Sumber (Alamiah dan Non Alamiah)
Secara
alamiah ozon dapat terbentuk melalui radiasi sinar ultraviolet pancaran sinar
Matahari. Chapman menjelaskan pembentukan ozon secara alamiah pada tahun 1930.
Di mana ia menjelaskan bahwa sinar ultraviolet dari pancaran sinar Matahari
mampu menguraikan gas oksigen di udara bebas. Molekul oksigen tadi terurai
menjadi dua buah atom oksigen, proses ini kemudian dikenal dengan nama
photolysis. Lalu atom oksigen tadi secara alamiah bertumbukan dengan molekul
gas oksigen yang ada disekitarnya, lalu terbentuklah ozon. Ozon yang terdapat
pada lapisan stratosphere yang kita kenal dengan nama ozone layer (lapisan
ozon) adalah ozon yang terjadi dari hasil proses alamiah photolysis ini.Proses
semacam ini terjadi pula pada smog (kabut) yang banyak kita dapati di kota-kota
besar seperti Jakarta, yang sarat dengan polusi udara. Gas NOx dan hydrocarbon
dari asap buangan kendaraan bermotor dan berbagai kegiatan industri, merupakan
sumber pembawa terbentuknya ozon.Selain proses alamiah, ozon juga dapat dibuat
dengan mempergunakan peralatan antara lain dengan metode electrical discharge
dan sinar radioaktif. Pembuatan ozon dengan electrical discharge pertama kali
dilakukan oleh Siemens pada tahun 1857 dengan mempergunakan metode dielectric
barrier discharge. Secara alamiah ozon ada di mana-mana dalam atmosfir. Di
permukaan bumi
konsentrasinya
sekitar 0,02-0,03 ppm. Secara nonalamiah ozon yaitu masuknya zat pencemar oleh
aktivitas manusia, yang pada umumnya tanpa disadari dan merupakan produk
sampingan, berupa gas-gas beracun, asap, partikel-partikel halus, senyawa
belerang, senyawa kimia, buangan panas, dan buangan nuklir.
3. Distribusi dan Dinamika di Lingkungan (reaksi kimia)
Ozon adalah senyawa dari 3 atom oksigen (O3). Bandingkan
dengan gas oksigen yang merupakan senyawa 2 atom oksigen(O2). Ozon adalah gas
berwarna biru yang daya oksidasinya luar biasa. Oleh sebab itu dalam industri
ozon sering digunakan sebagai penghilang bau dan rasa tengik senyawa hidrokarbon.
Ozon juga merupakan disinfektan yang 5000 kali lebih cepat dan lebih disukai
daripada klor, karena klor meninggalkan bau dan rasa yang tidak enak. Watak interaksinya
dengan sinar UV merupakan hal terpenting dalam fungsinya sebagai perisai bumi.
Ozon mudah menyerap sinar UV, terutama diantara 240-280 nm, dan pecah menjadi 1
atom oksigen (O) dan 1 molekul gas oksigen (O2) :
O3+
UV à O + O2 (1)
Secara alamiah ozon ada di mana-mana
dalam atmosfir. Di permukaan bumi konsentrasinya sekitar 0,02-0,03 ppm. Di
daerah industri konsentrasinya lebih tinggi, dapat mencapai 0,5 ppm, karena
terjadinya reaksi gas oksigen di udara oleh sinar matahari dengan hadirnya
partikel-partikel asap pabrik :
O2+ UV à
O + O
(2)
O
+O2+ M à O3+ M (3)
UV pada persamaan (2) adalah dari
panjang gelombang <240 nm yang lolos masuk ke troposfir. M adalah partikel
asap pabrik yang berlaku sebagai katalis dalam persamaan (3). Adanya azon di
troposfir sebetulnya malah merugikan, karena selain ozon sendiri tidak baik
bagi kesehatan, ia juga berfungsi sebagai salah satu gas efek rumah kaca yang
ikut menaikkan suhu permukaan bumi dewasa ini. Kontribusi ozon sebagai gas efek
rumah kaca adalah sebesar 7 % (Kompas 8 Juni 1992, p.4: kiat AS dalam KTT
Bumi), menduduki peringkat keempat setelah karbondioksida (CO2), senyawa
klorofluorokarbon CFC dan metana (CH4). Pada konsentrasi 1,2 ppm ozon sudah
dikatakan racun bagi tubuh manusia, ia dapat menyebabkan iritasi selaput
lendir, dada menjadi sakit dan batuk-batuk. Batasan acuan konsentrasi ozon yang
masih dapat dikatakan aman adalah rata-rata 0,1 ppm dalam sehari.
4. Standard dan Nilai Ambang Batas
(NAB) Ozon (O3)
Ozon di lapisan troposfer merupakan
salah satu gas rumah kaca yang potensial berubah karena kegiatan manusia. Ozon
dihasilkan melalui reaksi radiasi matahari pada gas-gas seperti nitrogen oksida
(NO2) dan gas hidro karbon. Semenjak kegiatan manusia yang menghasilkan gas rumah
kaca meningkat, maka pengukuran ozon permukaan ini sangat penting untuk
dilakukan agar dapat diketahui tingkat konsentrasi unsur di atmosfer.
Pengukuran ozon permukaan dilakukan dengan mempergunakan alat yang dinamakan
Ozone Analyzer. Di Stasiun GAW Bukit Kototabang pengukuran ozon ini dimulai
sejak September 1996 dengan mempergunakan alat buatan Tenco Inst. Nilai ambang
batas untuk lapisan ozon permukaan adalah 100 ppb (0.1 ppm).
5. Dampak Ozon (O3)
Terhadap Kesehatan
Walaupun efek perubahan iklim dan
konsekuensi pemanasan global tidak dimengerti secara pasti, beberapa efek
langsung terhadap pajanan peningkatan temperatur dapat diukur, seperti peningkatan
kejadian penyakit yang berhubungan dengan kenaikan temperatur, peningkatan
angka kematian karena gelombang udara panas seperti yang terjadi di Perancis tahun
2003. Kondisi iklim yang tidak stabil dapat juga menyebabkan peningkatan
kejadian bencana alam, seperti badai, angin siklon puting beliung, kekeringan,
dan kebakaran hutan, yang berdampak terhadap kesehatan fisik dan mental
masyarakat yang terserang. Pola iklim yang terganggu juga menyebabkan efek
tidak langsung terhadap kesehatan manusia. Efek terhadap pola hujan yang
meningkatkan bencana banjir dapat menyebabkan peningkatan kejadian penyakit perut
karena efeknya pada sumber air dan penyediaan air bersih, penyakit malaria,
demam berdarah dengue, chikungunya dan penyakit lainnya yang ditularkan melalui
rodent seperti leptospirosis. Efek tidak secara langsung ini menjadi sangat serius
pada daerah di dunia dengan penduduk miskin. Terdapat sejumlah penyakit yang
diprediksi prevalensinya akan meningkat sebagai akibat perubahan iklim. WHO
(2004) telah mengidentifikasi beberapa penyakit yang sangat besar kemungkinan karena
perubahan iklim telah menyebabkan terjadinya wabah. Telah direkomendasikan
memasang sistem peringatan dini untuk memonitor perubahan distribusi penyakit. Beberapa
penyakit yang bukan wabah juga berhubungan dengan perubahan iklim. Penggunaan
teknologi dan pengindraan jarak jauh atau
Geographical Information System(GIS) telah memungkinkan peningkatan pemetaan
risiko beberapa penyakit, misalnya penyakit cacing perut. Terdapat sedikit
variasi musim terhadap kejadian penyakit infeksi cacing, tetapi terdapat
beberapa bukti bahwa kelembaban tanah adalah sangat penting (WHO, 2004) dan
sangat dipengaruhi oleh perubahan iklim dan presipitasi air hujan. Pemetaan
risiko secara geografis (geographical risk mapping) kecacingan seperti
schistizomiasis dan filariasis telah ditangani
dengan penggunaan data temperatur, presipitasi dan vegetasi.
Penyakit diare
merupakan penyebab signifikan kesakitan dan kematian secara global. Dua juta
anak-anak meninggal setiap tahunnya di negara dengan penduduk berpenghasilan
menengah ke bawah walaupun sudah ada peningkatan penggunaan oralit untuk terapinya.
Kesakitan dan kematian tersebut berhubungan dengan pemakaian air yang tidak
memenuhi syarat kesehatan serta higiene dan sanitasi lingkungan yang tidak
memadai. Walaupun demikian, diare juga masih menjadi masalah di negara dengan
penduduk berpenghasilan menengah ke atas, karena diare tidak hanya berhubungan
dengan higiene dan sanitasi lingkungan, tetapi juga berhubungan dengan praktek
higiene dan keamanan pangan. Terdapat variasi musiman dalam penyakit diare, dimana
pada peningkatan temperatur berhubungan dengan peningkatan jumlah penderita
diare yang masuk rumah sakit di semua bagian belahan bumi ini. Studi yang
dilakukan di Peru menunjukkan bahwa penderita diare yang masuk rumah sakit meningkat
sebanyak 4% untuk setiap peningkatan temperatur 1oC di musim kemarau, dan
meningkat 12% untuk setiap peningkatan temperatur 1oC di musim penghujan. Di
Fiji studi pada hal yang sama menunjukkan adanya peningkatan kasus bulanan 3%
untuk setiap peningkatan temperatur per 1oC (Singh et al., 2001). Perubahan
iklim diprediksi berdampak terhadap penyakit diare seperti kolera, karena
perubahan curah hujan menyebabkan banjir di musim penghujan yang berakibat
epidemi dan sebaliknya terjadi kekeringan di musim kemarau. Perubahan ini juga
berdampak terhadap penyediaan air bersih dan sanitasi yang adekuat, serta juga
tersedianya makanan yang higienis dan kemampuan menerapkan praktek higiene yang
baik pada tempatnya. Di negara maju dilaporkan adanya kasus keracunan makanan
di bulan-bulan musim panas. Salmonella adalah penyebab kedua terbanyak pada
kasus keracunan makanan di England dan Wales dengan jumlah 30.000-40.000 kasus
yang telah dikonfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium per tahun, yang dengan
demikian masih banyak kasus yang tidak terekam. Bakteria Salmonella tumbuh pada
makanan pada temperatur ambien dan menunjukkan hubungan linier sampai
temperatur di atas 7-8 oC. Penyimpanan makanan yang sempurna meliputi
pendinginan yang adekuat akan memperlambat dan bahkan menghentikan pertumbuhan
bakteri. Penyakit juga menyebar dari satu orang ke orang lain dikarenakan
praktek perilaku higiene yang tidak baik. Wabah Salmonella sering berhubungan
dengan dengan praktek penanganan makanan yang kurang higienis dan kegagalan di
industri makanan. Terdapat bukti yang kurang kuat untuk menghubungkan perubahan
iklim dengan peningkatan penyakit diare yang disebabkan oleh Salmonella atau bakteri
lainnya seperti Campylobacter, kecuali semakin tinggi temperatur pada musim
panas akan semakin meningkat kemungkinan perilaku yang berisiko seperti piknik,
sebagai penyebaran penyakit karena berhubungan praktek penjamahan makanan yang
kurang higienis. Pemanasan global yang terjadi menyebabkan perubahan iklim dan
cuaca di seluruh dunia. Sebagian belahan dunia menjadi lebih kering, dan
sebagian lagi menjadi lebih basah. Sebagian dunia ada yang menjadi lebih panas
dan sebagian lagi menjadi lebih dingin. Semua itu mempengaruhi spesies yang
hidup didalamnya, khususnya nyamuk yang sangat peka terhadap perubahan cuaca
yang terjadi secara cepat. Perubahan iklim secara tidak langsung mempengaruhi distribusi,
populasi, serta kemampuan nyamuk dalam menyesuaikan diri (Patz, 2006). Nyamuk
Aedes sebagai vektor penyakit demam berdarah dengue (DBD) hanya berkembang biak
pada daerah tropis yang temperaturnya lebih dari 16 oC dan pada ketinggian
kurang dari 1.000 meter di atas permukaan air laut. Namun sekarang nyamuk tersebut
telah banyak ditemukan pada daerah dengan ketinggian 1.000–2.195 meter di atas
permukaaan air laut. Pemanasan global menyebabkan suhu beberapa wilayah cocok
untuk berbiaknya nyamuk Aedes, dimana nyamuk ini dapat hidup optimal pada suhu antara
24-28 oC. Karena itu mudah difahami bahwa perubahan iklim karena pemanasan
global memperluas ruang gerak nyamuk Aedes sehingga persebaran daerahnya
menjadi lebih luas. Perluasan persebaran daerah ini akan meningkatkan risiko
terjangkitnya penyakit DBD di suatu daerah yang sebelumnya belum pernah
terjangkit. Secara umum dapat dikatakan bahwa perubahan iklim meningkatkan
curah hujan yang berdampak pada meningkatnya habitat larva nyamuk sehingga meningkatkan
kepadatan populasi nyamuk. Peningkatan kelembapan juga meningkatkan agresivitas
dan kemampuan nyamuk menghisap darah dan berkembang biak lebih cepat. Penelitian
laboratoris menyebutkan bahwa tingkat replikasi virus Dengue berhubungan dengan
kenaikan temperatur. Dalam penelitian ini ditunjukkan dengan model pengaruh
perubahan temperatur secara relatif akan memberikan kesempatan pada virus untuk
memasuki populasi manusia yang rentan terhadap risiko terjangkit. Kenaikan suhu
memperpendek masa inkubasi virus dalam tubuh vektor (Patz, 2006).
6.
Pengendalian
(Pencegahan dan Penanggulangan) Ozon.
Pencegahan:
Dalam memelihara lapisan ozon,
seluruh masyarakat di dunia harus bertindak yaitu dengan cara :
1) Mengurangi atau tidak menggunakan
lagi produk-produk rumah tangga yang mengandung
zat-zat yang dapat merusak lapisan pelindung bumi (Bahan Perusak Ozon) dari sinar UV.
2)
Menggunakan selalu produk-produk
yang berlogo ramah ozon.
3) Menggunakan
alat pemadam api yang tidak mengandung Haloncarbon.
4) Memeriksa dan merawat peralatan
pendingin/pengatur suhu dan sistem pemadam api secara berkala untuk memastikan
tidak adanya kebocoran BPO (CFC, HCFC atau Halon)
5) Memastikan bahwa CFC/HCFC/Halon yang
ada di dalam sistem diambil kembali (recovery)
dan didaur ulang (recycle) dalam
proses perawatan dan perbaikan sistem pendingin atau pemadam api.
6) Mengirim CFC/HCFC/Halon yang sudah
tidak terpakai ke fasilitas pengolahan BPO bekas seperti Halon Bank, Pusat
Reklamasi CFC atau Pemusnahan BPO.
7) Mengganti alat-alat kebutuhan yang
berpotensi menghasilkan zat-zat perusak ozon dengan alternatif lain yang lebih
ramah lingkungan misalnya pembangkit tenaga listrik dari sel surya, angin atau
arus air terjun/turbin.
8) Diperlukan upaya meningkatkan
kesadaran dan partisipasi aktif masyarakat dalam program perlindungan lapisan ozon, pemahaman mengenai
penanggulangan penipisan lapisan ozon,
memperkenalkan bahan, proses, produk, dan teknologi yang tidak merusak lapisan ozon dengan cara mengadakan
seminar “Save Our Earth”.
9) Tidak
membakar hutan maupun menebang pohon-pohon secara liar.
Penanggulangan
Isu penipisan lapisan ozon telah
dijadikan isu internasional oleh Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk
Lingkungan Hidup, United Nations
Environment Programme (UNEP) sejak tahun 1987. Atas permintaan “United
Nations Environment Programme” (UNEP), WMO memulai Penyelidikan Ozon Global dan
Proyek Pemantauan untuk mengkoordinasi pemantauan dan penyelidikan ozon dalam
jangka panjang. Semua data dari penelitian pemantauan di seluruh dunia diantarkan
ke Pusat Data Ozon Dunia di Toronto, Kanada, yang tersedia kepada masyarakat
ilmiah internasional.
Pada tahun 1977, pertemuan pakar
UNEP mengambil tindakan Rencana Dunia terhadap lapisan ozon, dengan
ditandatanganinya Protokol Montreal pada tahun 1987, suatu perjanjian untuk
perlindungan terhadap lapisan ozon. Protokol ini kemudian diratifikasi oleh 36
negara termasuk Amerika Serikat. Kemudian pada tahun 1990 diumumkan pelarangan
total terhadap penggunaan CFC sejak diusulkan oleh Komunitas Eropa (sekarang
Uni Eropa) pada tahun 1989, yang juga disetujui oleh Presiden Amerika Serikat,
George Bush.
Untuk memonitor berkurangnya ozon
secara global, National Aeronautics and
Space Administration (NASA) meluncurkan Satelit Peneliti Atmosfer. Satelit
dengan berat 7 ton ini mengorbit pada ketinggian 600 km (372 mil) untuk
mengukur variasi ozon pada berbagai ketinggian dan menyediakan gambaran jelas
pertama tentang kimiawi atmosfer di atas.
Perhatian negara-negara di dunia
terhadap penipisan lapisan ozon sebenarnya sudah ada sebelum lahirnya Protokol
Montreal. Yaitu dengan terciptanya kebijakan dalam perlindungan lapisan ozon
pada tahun 1981 melalui keputusan UNEP Governing Council, merupakan kelompok
kerja yang beranggotakan wakil dari beberapa negara. Kelompok kerja ini
menyusun suatu konsep “Konvensi untuk Perlindungan Lapisan Ozon.”
Sampai kemudian pada tahun 1985
dokumen ini dikenal dengan Konvensi Wina, yang berisikan tentang perlindungan
terhadap lapisan ozon. Dokumen ini diadopsi oleh negara-negara Uni Eropa serta
21 negara lainnya di dunia. Konvensi Wina merupakan titik awal pergerakan dalam
menyelamatkan lapisan ozon. Konvensi Wina merupakan landasan hukum pelaksanaan
perlindungan lapisan ozon ditingkat internasional yang mensyaratkan seluruh
negara pihak untuk bekerjasama
melaksanakan pengamatan, penelitian dan pertukaran informasi guna
memperoleh pemahaman yang lebih baik dan mengkaji dampak kegiatan manusia
terhadap lapisan ozon serta dampak penipisan lapisan ozon terhadap kesehatan
manusia dan lingkungan.
Tak lama setelah itu muncul Protokol
Montreal pada tanggal 16 September 1987. Protokol Montreal memuat aturan
pengawasan produksi, konsumsi dan perdagangan bahan-bahan perusak lapisan ozon.
Dalam protokol tersebut tercantum jenis-jenis bahan kimia yang masuk dalam
daftar pengawasan serta jadwal penghapusan masing-masing jenis BPO. Protokol
Montreal kemudian mengalami penyempurnaan melalui penetapan Amandemen London
(1989), Amandemen Kopenhagen (1992), Amandemen Montreal (1997) serta Amandemen
Beijing (1999).
Salah satu upaya masyarakat dalam membantu
upaya pemerintah untuk menanggulangi menipisnya lapisan ozon yaitu dengan cara
penanaman tumbuhan dan pohon-pohon sekaligus melestarikannya.
Karena
dengan banyaknya pohon, maka banyak pula oksigen yang dihasilkan oleh tumbuhan
atau pohon tersebut. Dengan banyaknya kandungan oksigen di udara bebas maka
semakin banyak juga ozon yang terbentuk dan naik ke atmosfer. Sehingga
membentuk lapisan ozon yang tebal dan stabil keberadaannya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Lapisan Ozon adalah lapisan yang melindungi bumi dari
radiasi sinar ultraviolet dari matahari. Lapisan ini berada di lapisan
stratosfer bumi yang terletak di sekitar 15-50 km di atas permukaan
bumi. Seiring dengan berkembangnya zaman,
penggunaan bahan-bahan yang mengandung Bahan Perusak Ozon (BPO) telah banyak
digunakan oleh masyarakat dunia hingga sekarang. Sehingga menimbulkan kerusakan
pada lapisan ozon dengan terbentuknya lubang ozon.
Oleh karena itu dilakukan upaya pencegahan dan
penanggulangan oleh semua masyarakat dunia untuk mengantisipasi kerusakan pada
lapisan ozon. Tindakan yang dapat dilakukan oleh masyarakat dunia untuk
mencegah penipisan lapisan ozon diantaranya adalah sebagai berikut.
1)
Mengurangi
atau tidak menggunakan lagi produk-produk rumah tangga yang mengandung zat-zat yang dapat merusak lapisan ozon.
2)
Mengganti alat-alat kebutuhan yang berpotensi
menghasilkan zat-zat perusak ozon dengan alternatif lain yang lebih ramah lingkungan.
3) Meningkatkan kesadaran dan partisipasi aktif
masyarakat dalam program perlindungan lapisan ozon, pemahaman mengenai
penanggulangan penipisan lapisan ozon, memperkenalkan bahan, proses, produk,
dan teknologi yang tidak merusak lapisan ozon dengan cara mengadakan seminar-seminar dan penyuluhan secara rutin di berbagai
organisasi masyarakat.
Daftar
Pustaka
1.
Dasar-dasar kesehatan lingkungan, Anwar Daud,
Semut Grafis, 2001, Makassar.
2.
Kesehatan Lingkungan, Ricki M.Mulia, Graha Ilmu,
2005, Yogya.
3. Ilmu
Lingkungan Sarana Menuju Masyarakat Berkelanjutan, Agoes Sugianto, Surabaya,
Surabaya Airlangga UNIV Press, 2010.
4. Greenberg,
dkk.1998. Panduan Pemberitahuan Lingkungan Hidup. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
5. Kualitas
udara dalam ruang, Lily Pudjiastuti, Direktorat Jenderal Pendidkan Tinggi,
1998.